Home » » Komponen Hadis

Komponen Hadis

A. Sanad

1. Pengertian Sanad

Sanad dari segi bahasa berarti  مَاارْتَفَعَ مِنَ الْأَرْضِ yaitu bagian bumi yang menonjol, sesuatu yang berada dihadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalah أسنا Segala sesuatu yang anda sandarkan kepada yang lain disebut مسند dikatakan  maknanya “Seseorang mendaki gunung”   dikatakan pula فلان سن maknanya “seseorang menjadi tumpuan”.

Adapun tentang pegertian sanad menurut teminologi, para ahli hadis memberikan definisi yang beragam, diantaranya:

اَلطَّ يْقَةُ الْمُوْصِلَةُ إِلَى الْمَتْنِ                               

Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis

سِلْسِلَةُ الرِّجَالِـ الْمَوَصِّلَةُ لِلْمَتْنِ

Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadis

Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara terperinci, sebagai berikut:

طَرِيْقُ الْمَتْنِ أَوْسِلْسِلْةُ الرُّوَاةِالَّدِ يْنَ نَقَلُوْاالْمَتْنَ عَنْ مَصْدَرِهِ الْأَوَّلِ

Jalan matan hadis, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadis dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW).

Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadis.

Komponen Hadis

2. Isnad, Musnad, dan Musnid

  1. Istilah al-isnad menurut lughah ialah menyadarkan sesuatu kepada yang lain. Sementara isnad menurut istilah menerangkan rangkaian urutan sanad suatu hadis.
  2. Musnad adalah hadis yang diterangkan dengan menyebutkan sanadnya hingga sampai kapada matan.
  3. Musnid adalah orang yang menerangkan sanad suatu hadis.
3. Tinggi Rendahnya Rangkaian Sanad

Sebagaimana kita ketahui, bahwa suatu hadis sampai kepada kita, tertulis kepada kitab hadis melalui sanad-sanad. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi derajatnya daripada hadis yang rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhadditsin [3] membagi tingkatan sanadnya sebagai berikut:

a. Ashahhu as-Asanid (sanad-sanad yang lebih shahih)
Penilaian ashahhu al-sanid ini hendaklah secara muqoyyad (di khususkan). Contoh asahhu al-asanid yang muqoyyad tersebut adalah :
  1. Umar ibnu al-Khattab r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri dari Salim bin `Abdullah bin Umar, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), dari kakeknya (Umar bin Khattab).
  2. Kota Mekkah, yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah
b. Ahsanu al-Asanid
Derajatnya lebih rendah dar Ashahhu as-Asanid, yaitu: Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah) dari kakeknya (Muawiyah bin Haidah).

c. Adh`afu al-Asanid
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya, antara lain:
  1. Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Shodaqoh bin Musa dari Aby Ya`qub Farqab bin Ya`qub dari Murrah ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.
  2. Kota Yaman ialah yang diriwayatkan oleh Hafs bin `Umar dari al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas
4. Jenis - Jenis Hadis

1. Sanad Aliy
Sanad Aliy adalah sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadist dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak. Sanad Aly jumlahnya dibagi dua :
  1. Sanad Aliy bersifat Mutlak, adalah sebuah sanad yang rawinya hingga sampai kepada rosulullah lebih sedikit jika dibandingkan sanad yang lain. Jika sanad tersebut sahih, sanad itu menempati tingkatan tertinggi dari jenis tingkatan aliy.
  2. Sanad Aliy bersifat Nisbi, adalah sebuah sanad yang jumlah rawi didalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadist, seprti ibnu juraij, malik, as’syafii, bukhori, muslim dan sebagainya, meskipun jumlah perawinya setelah mereka hingga sampai kepada rosululloh lebih banyak
2. Sanad Nazil
Sanad Nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadist dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama jika rawinya lebih sedikit

B. Matan

1. Pengertian Matan

Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairfa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Matan kitab adalah yang bersifat komentar dan bukan tambahan- tambahan penjelasan. Bentuk Jamak adalah ‘mutun’ dan ‘mitan’.Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah,

مَااِنْتَهَى اِلَيْهِ السَّنَدُ مِنَ الْكَلَامِ فَهُوَ نَفْسُ الْحَدِيْثِ الَّذِي ذُكِرَالْإِسْنَادُلَهُ.

Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya

2. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan

Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairfa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Matan kitab adalah yang bersifat komentar dan bukan tambahan- tambahan penjelasan. Bentuk Jamak adalah ‘mutun’ dan ‘mitan’.Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah 

مَااِنْتَهَى اِلَيْهِ السَّنَدُ مِنَ الْكَلَامِ فَهُوَ نَفْسُ الْحَدِيْثِ الَّذِي ذُكِرَالْإِسْنَادُلَهُ

Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.

1). Periwayatan Hadits Secara Makna
Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-ma’na), bukan berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits.

2). Beberapa Ketentuan dalam Periwayatan Hadits Secara Makna
Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh meriwayatkan Hadits secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 573 H/ 1148 M) berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi SAW tidak diperkenankan meriwayatkan Hadits secara makna. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi adalah: pertama, Sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah tua al-balaghah), dan kedua, Sahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.

3).Meringkas dan Menyederhanakan Matan Hadits
Selain perbedaan susunan kata-kata dan perbedaan dalam memilih kata-kata untuk redaksi suatu Hadits, permasalahan yang juga diperselisihkan oleh para Ulama dan berpengaruh terhadap redaksi matan suatu Hadits adalah mengenai tindakan meringkas atau menyederha-nakan redaksi dari suatu Hadis.

Sebagian Ulama ada yang mutlak tidak membolehkan tindakan tersebut. Hal itu sejalan dengan pandangan mereka yang menolak periwayatan Hadits secara makna. Sebagian lagi ada yang membolehkannya secara mutlak. Namun, kebanyakan Ulama Hadits dan merupakan pendapat yang terkuat adalah membolehkannya dengan persyaratan.

3. Perbedaan Kandungan Matan Hadis

Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
  1. Riwayat bi al-lafdzi, adalah menyampaikan kembali kata-kata Nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan ini, maka tidak ada perbedaan antara perawi satu dengan perawi lainnya dalam menyampaikan hadits Nabi.
  2. Riwayat bi al-ma’na, periwayatan dengan makna yang terkandung dalam hadits namun redaksinya berbeda dengan yang diucapkan Nabi.
Cara kedua inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan kandungan matan hadits. Banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya para perawi yang ditulis dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandung sama. Periwayatan ini telah terjadi sejak masa shahabat karena mereka tidak mencatat hadits pada saat mereka bersama Nabi SAW, juga tidak menghafal kata per kata Nabi, maka mereka menyampaikan dari apa yang mereka ingat saja. Semua ulama hadits sepakat untuk menerima riwayat para shahabat meskipun berbeda-beda redaksi, alasannya adalah para shahabat memiliki pengetahuan bahasa yang tinggi dan para shahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Mayoritas ulama hadits juga membolehkan periwayatan bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain shahabat dengan ketentuan :
  1. Mengetahui pengetahuan bahasa arab yang mendalam
  2. Dilakukan karena terpaksa
  3. Yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan bersifat ta’abbudi
  4. Periwayatan bi al-ma’na sepatutnyaau nahwa hadza, atau yang semakna dengannya, setelah menyebut matan hadits
  5. Kebolehan ini hanya berlaku sebelum masa pembukuan hadits secara resmi.
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadist ialah:
  1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  2. Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Penulis : Wilma Feliza Sinaga
Editor : Altri Ramadoni, S.Pd.I

komponen-hadis
 
Support : Kontak | Privasi | Tentang
Copyright © 2024. Fisika Islam - All Rights Reserved
Temukan Kami di Facebook @ Fisika Islam