Home » » Ilmu Gharib al-hadis Dalam Studi Hadis : Solusi atau Perspektif Akal Belaka?

Ilmu Gharib al-hadis Dalam Studi Hadis : Solusi atau Perspektif Akal Belaka?

Hadis ialah sumber Hukum Islam setelah Al-Qur’an. Karena hadis merupakan sumber hukum islam, maka dianjurkan untuk mepelajarinya. Hadis memiliki peran penting sebagai pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari hari, baik dalam ibadah, muamalah, adab maupun tuntunan yang lainnya. Selain itu, hadis juga berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an yang masih bersifat global, agar menjadi terperinci dan mudah untuk dipahami.

Ilmu Gharib al-hadis Dalam Studi Hadis : Solusi atau Perspektif Akal Belaka?

Hadis bukanlah hal yang baru, karena hadis ada semenjak zaman Rasulullah, akan tetapi para sahabat lebih fokus untuk menghafal al-Qur’an karen kodifikasi al-Qur’an belum ada dan masih mengandalkan hafalan para sahabat. Ada beberapa diantara sahabat yang menuliskan hadis sebagai pegangan dan disimpan secara diam-diam. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir, sifat-sifat serta keadaan masa itu. (Oneng Nurul. B, 2011).

Hadis sendiri merupakan cara Nabi Muhammad untuk memahami Al-Qur’an dan kemudian mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari Nabi. Maka Rasul sering disebut sebagai fase mufassir pertama, yang artinya ketika ada ayat tertentu kemudian nabi berkata atau melakukan tindakan atau menetapkan sesuatu berdasarkan pemahamannya Rasul tentang perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an.

Setelah wafatnya Rasulullah dan berakhirnya masa khulafah rosyiddin masalah yang muncul salah satunya adalah panduan hukum-hukum islam tertulis, di era tabi'in Umar bin Abdul Aziz, diupayakan untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada. Beliau menulis surat kepada gubernur di Madinah yaitu Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Hazm al-Ansari untuk membukukan hadis (Heri Ruslan, 2012). Alasan pengkodifikasian hadis ini karena umat Islam sudah tertata, mempunyai kelompok atau negara sendiri, apabila dikemudian hari membutuhkan aturan yang tertulis maka upaya pengkodifikasian hadis dilakukan agar hadis itu bisa dijadikan landasan ketika suatu daerah melakukan atau memutuskan perkara-perkara dalam kehidupan sehari-hari.

Kurangnya pemahaman terhadap makna hadis merupakan problem yang di rasakan dari zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dalam pengumpulan dan penerapannya hadis sering ditemukan teks hadis menggunakan bahasa yang tidak mudah dipahami atau memiliki makna yang masih samar-samar sehingga diperlukan sebuah penafsiran yang tepat dan jelas agar hadis tersebut mudah dipahami untuk dijadikan sebagai pedoman dan acuan hidup umat muslim. Cikal bakal terjadinya pemaknaan terhadap hadis yaitu dilatar belakangi oleh adanya hadis gharib yakni hadis yang belum jelas atau masih samar-samar, yang kemudian ditafsirkan dan dituangkan dalam ilmu Gharib al-Hadis. Jadi, makna yang timbul akan jauh lebih sesuai dengan zaman, karena ilmu Gharib al-Hadis mencoba menafsirkan hadis bukan hanya dari sisi tekstual namun juga dari segi kontekstualnya. Hal Ini disebabkan karena Rasulullah menggunakan logat Quraisy dalam penyampaian hadis. Fungsi dibentuknya ilmu ini adalah untuk meminimalisir seseorang yang menafsirkan hadis Nabi hanya berdasarkan dengan dugaan saja dan mentaklid-kan pendapat seseorang yang tidak kompeten dalam ilmu hadis.

Sebelumnya apa itu logat Quraisy itu ?, logat Quraisy itu adalah salah satu dari dialek-dialek atau logat yang terdapat dalam bahasa Arab itu sendiri. Seperti yang diketahui, bahwa bangsa Arab sejak dulu terdiri dari berbagai macam suku, dan suku yang satu berbeda dengan suku yang lainnya. Jika dianalogikan keragaman bahasa arab itu sama dengan bahasa daerah di Indonesia, logat jawa dengan logat sundah jauh berbeda, “urang” dalam bahasa sunda adalah ”orang” sedangkan “urang” dalam bahasa jawa adalah “udang”. Jadi walaupun katanya sama tapi berbeda makna. Hal ini yang menyebabkan salah penafsiran pada hadis.

Memahami kosakata (mufrad) matan hadis merupakan langkah pertama dalam memahami suatu hadis, seperti hadis tentang membunuh cicak, diriwayatkan oleh imam Muslim yang artinya:

“jika kita membunuh cicak satu kali pukulan, maka dituliskan pahala 100 kebaikan. Barangsiapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Barangsiapa memukul lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang ke dua” (H.R. Muslim) (Gadis Saktika, 2021).

Jika ditafsirkan secara tekstual maka jelas hukumnya rasulullah menyuruh untuk membunuh cicak, Namun dengan pendekatan ilmu gharib al-hadis, maka harus disesuaikan dengan kontekstualisasinya. Sehingga hadis tersebut dapat dimaknai dengan pada zaman itu terdapat wabah yang disebabkan oleh cicak, cicak yang dimaksud disini adalah sejenis cicak yang menimbulkan penyakit bukan cicak yang hidup damai di rumah. Dengan membunuh hewan dengan pukulan tertetu untuk semakin cepat dibunuh, maka akan membuat yang membunuh aman dari penyakit. Tentunya jika cicak itu lolos, bisa menyakiti orang yang akan membunuhnya.

Jadi ilmu Gharib al-Hadis ini merupakan solusi dari penafsiran hadis yang dikaitkan buka hanya dari sisi tekstual namun juga dari segi kontekstualnya. Seiring berjalannya waktu, semakin pesat pula perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan munculnya berbagai metode dan pendekatan baru dalam menafsirkan sebuah hadis, sehingga pemaknaan terhadap hadis bisa dilakukan. Sehingga, makna yang timbul akan jauh lebih sesuai dengan zaman karena pendekatannya mencoba menafsirkan hadis bukan hanya dari sisi tekstual namun juga melihat dari segi kontekstualnya.

Penulis : Khoirunnisa

Editor : Altri Ramadoni, S.Pd.I

 
Support : Kontak | Privasi | Tentang
Copyright © 2024. Fisika Islam - All Rights Reserved
Temukan Kami di Facebook @ Fisika Islam