Home » » Urgensi Pemahaman Hadis Palsu dalam Masyarakat

Urgensi Pemahaman Hadis Palsu dalam Masyarakat

Di dalam sebuah pengajian, seringkali seorang mubaligh menyampaikan dakwah yang kemudian ia perkuat dengan adanya dalil. Dalil yang disebutkan yakni berupa ayat Al-Qur’an ataupun potongan- potongan hadis. Perlu kita ketahui, bahwasanya tidak semua hadis itu, shohih atau boleh dijadikan petunjuk/hujjah ataupun patokan dalam menjalankan syari’ah islam. Hal itu dikarenakan terdapat hadis-hadis yang dho’if (lemah) maupun hadis yang maudhu’ (palsu). Sebelum kita membahas apakah itu hadis shohih ataupun hadis maudhu’ (palsu), kita perlu mengetahui terlebih dahulu pengertian dari hadis.

Urgensi Pemahaman Hadis Palsu dalam Masyarakat

Hadis secara harfiah berarti “berbicara”, “perkataan” atau “percakapan”. Hadis secara istilah berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) maupun sifat Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum dalam agama islam.” Hadis merupakan sumber hukum dalam agama islam selain Al-Qur’an, Ijma’, dan Qiyas. Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Terdapat enam kitab induk hadis dalam islam yang biasanya kita sebut dengan kutubus sittah. Ke enam kitab tersebut merupakan kitab yang disusun oleh para pengumpul hadis yang paling dipercaya dan memenuhi syarat-syarat perawi. Keenam kitab tersebut adalah :

  1. Shahih Bukhori yang dihimpun oleh Imam Bukhori
  2. Shahih Muslim yang dihimpun oleh Imam Muslim
  3. Sunan an-Nasa’i yang dihimpun oleh Imam Nasa’i
  4. Sunan Abu Dawud yang dihimpun oleh Imam Abu Dawud
  5. Sunan at-Tirmidzi yang dihimpun oleh Imam Tirmidzi
  6. Sunan Ibnu Majah yang dihimpun oleh Imam Ibnu Majah

Adapun hadis yang dilihat dari kuantitas perawi nya terbagi menjadi dua macam, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan hadis yang dilihat dari kualitas nya terbagi menjadi dua macam, yakni hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis Maqbul adalah hadis yang telah jelas kebenaran yang diriwayatkan perowi dan hadis ini wajib untuk dijadikan landasan dalil hukum dan wajib pula diamalkan. Hadis Maqbul dibagi menjadi dua, yakni Hadis Shohih dan Hadis Hasan. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar hadis dapat disebut shohih adalah :

  1. Sanadnya bersambung.
  2. Periwayatan bersifat adil. Periwayat seorang muslim yang baligh, berakal sehat, dan selalu taat dengan ajaran Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.
  3. Periwayatan bersifat dhabit (kuat hafalannya).
  4. Tidak terdapat kejanggalan (Syadz).
  5. Terhindar dari ‘Illal (cacat).

Sedangkan hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi semua atau sebagian dari syarat diterimanya riwayat. Hadis Mardud ditolak disebabkan adanya kecacatan pada perawinya. Cacat perawi yang berkaitan dengan ke‘adilannya adalah: dusta, tuduhan berdusta, fasik, bid’ah, al-jahalah, (ketidak jelasan), sedangkan cacat perawi yang berkaitan dengan kedhabitannya adalah: kesalahan yang sangat buruk,buruk hafalan, kelalaian, banyak wahm (prasangka), dan menyelisihi para perawi yang siqah.

Hadis Mardud dibagi menjadi dua, yakni Hadis Dha’if dan Hadis Maudhu’. Terdapat perselisihan dalam penggunaan hadis dha’if, ada ulama yang melarang pemakaian hadis dha’if akan tetapi juga ada ulama yang memperbolehkan pemakaian hadis dha’if. Para ulama yang membolehkan penggunaan hadis dha’if hanya berdasarkan aspek-aspek tertentu. Salah satunya adalah aspek yang tidak berkaitan dengan ibadah. Sedangkan Hadis Maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada

Rasulullah SAW akan tetapi secara dibuat-buat dan dusta, padahal sebelumnya Rasulullah SAW tidak mengatakan, berbuat dan juga menetapkannya. Sehingga dapat dikatakan bahwasanya Hadis Maudhu’ adal ah hadis yang dibuat-buat oleh pendusta yang ia nisbatkan kepada Rasulullah SAW secara paksa dan  bohong, baik secara disengaja maupun tidak.

Dalam akun youtube ‘Audio Dakwah’, Ustad Adi Hidayat mengatakan bahwasanya yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang terdapat dalam kitab hadis. Di dalam hadis akan ditemui dua sayap, yaitu matan (isi hadis) dan sanad (silsilah orang yang meriwayatkan hadis sampai ke Nabi Muhammad SAW). “Keduanya (sanad dan matan) penting, kata ulama ini bagaikan dua sayap burung. Apabila satu sayap terluka, maka burungnya tidak bisa terbang, satu sayap terluka maka hadisnya akan turun kualitasnya.”

Contoh dari hadist palsu adalah :

ﻟﺍ ﻩﺮﺁﻭ ﺓﺮﻔ ﺃﻭ ﺎﻀ ﻝﻭ

Artinya : Awal Ramadhan itu rahmat, pertengahannya ampunan, dan ujungnya adalah pembebas dari api neraka

ﻣﺃ ﻼﺘ

Artinya: Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat

ﻤﻳﻹﺍ ﺔﻓﻟﺍ

Artinya: Kebersihan adalah sebagian dari iman

ﻊﺒﺸﻧ ﻠﻛَﺃ ﺍَﺇَﻭ ﻉْﻮﺠ ﻛْﺄﻧ ﻻ ٌﻡْ

Artinya: Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan tidak pernah sampai kenyang. (Redaksi lain: makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang)

Berdasarkan contoh diatas, dapat disimpulkan bahwasanya terdapat hadis yang meskipun memiliki matan yang bagus, akan tetapi riwayatnya bermasalah maka, belum tentu hadis tersebut dapat diterima. Untuk mengetahui hadis shohih maupun bukan perlu dicek dan dilihat perawinya terlebih dahulu. Kita sebagai umat muslim terutama bagi para mubaligh, sudah seharusnya mengetahui mana hadis shohih, mana hadis dha’if, dan juga mana hadis maudhu’. Hal itu bertujuan agar kita tidak salah dalam mengambil suatu dalil yang dapat kita amalkan pada kehidupan kita

Dalam akun Youtube ‘Amos Tambusai’, Ustad Abdul Somad mengatakan, “apabila kita ingin membeli buku hadis, jangan beli buku kalau diujungnya tidak ada tulisan HR. Hadis hadis hadis, HR Bukhori, HR Muslim, HR Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i.” Jadi apabila kita ingin membeli buku, dilihat dulu, apakah ada tulisan “HR” nya atau tidak. Hal itu perlu diperehatikan agar kita tidak salah dan mengetahui mana hadis palsu dan mana hadis yang shohih.

Penulis : Aminah Ulil Albaab

Editor : Altri Ramadoni, S.Pd.I

 
Support : Kontak | Privasi | Tentang
Copyright © 2024. Fisika Islam - All Rights Reserved
Temukan Kami di Facebook @ Fisika Islam