Ketika ibu ainun meninggal, tim dokter memberikan 4 opsi kepada saya.
Opsi pertama, Habibie masuk rumash sakit jiwa. Ke dua, Habibie tingal
di rumah dan di rawat oleh tim dokter gabungan dari Jerman dan
Indonesia. Ke tiga, Habibie mengikuti grup konseling untuk mencurahkan
kegelisahannya. Yang terakhir, Habibie menuliskan semua yang
dirasakannya, semua kenangannya bersama Ibu Ainun. Akhirnya saya meilih
opsi yang ke empat.”
Setelah menonton film Habibie dan Ainun, kita pasti akan
terkagum-kagum dengan kisah cinta mereka. Tulisan ini mungkin hanya satu
dari sekian banyak tulisan yang mengungkapkan kekaguman para penonton.
Tapi saya, ingin mengungkapkan penilaian pribadi saya sendiri terhadap
kisah ini. Betapa sebuah cinta yang tulus sebenarnya memiliki tanggung
jawab yang besar. Bahwa mencintai berarti berani mengambil tanggung
jawab.
Ibu ainun menunjukan kepada kita figur seorang wanita yang berani
bertanggung jawab atas penerimaan cinta. Dia menyadari bahwa pernikahan,
yang demikian penting dan sakralnya, hanyalah satu bagian dalam
kehidupan. Jauh ke depan, kehidupan setelah menikah itulah yang menjadi
fokus utama. Dia sadar, tugas besarnya sebagai istri. Tidak bosan karena
kemiskinan, tidak lelah karena masalah, selalu ada untuk menguatkan.
Habibie pun mengagumkan, tidak pernah dalam masalah apapun, dia
mengatakan sesuatu yang negatif pada Ainun. Bahkan ketika Ainun meminta
diizinkan pulang ke Indonesia agar dapat meringankan beban Habibie di
Jerman. Habibie tidak berpura-pura tegar untuk merelakan Ainun pergi.
Dengan jujur ia sadari, bahwa Ainun, jauh di dalam hatinya, pun
sesungguhnya tidak rela berpisah dari Habibie. Permintaan ainun itu,
sebenarnya terkandung harapan agar Habibie tetap mempertahankannya di
jerman. Habibie sangat mengerti itu
Habibie selalu mengatakan hal yang positif. Karena bersamalah mereka
kuat, meski dalam kesusahan hidup yang parah. Yang diyakininya adalah
kebahagiaan, karena berjuang bersama, “Dengan kita menikah, kita telah memasuki sebuah terowongan yang gelap.
Sepi dan panjang. Tapi setiap terowongan pasti ada ujunnya, dan di ujung
itulah cahaya. Ke sanalah kamu akan saya bawa”.
Hidup mereka bukanlah hidup yang sederhana. Mereka punya cita-cita
dan perjuangan besar, dalam kesederhanaan. Ainun tahu, sebagai pemilik
ilmu, habibie harus bertanggung jawab dengan ilmunya, mengabdikannya
untuk sebesar-besarnya manfaat bangsa.
Sungguh sebuah kisah cinta yang mengagumkan. Cinta bukanlah untuk
mereka berdua. Tapi berdua membangun cinta untuk tujuan-tujuan besar dan
mulia. Sehingga meski telah ditinggalkan Ainun, Habibie tetap bisa
bertahan, menghadiahkan kita sebuah buku berisi kisah cinta agung penuh
inspirasi. Bukan Romeo, yang bunuh diri demi mengejar Julietnya ke lain
dunia