Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan
tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh
melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni
mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca
oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram
artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan
shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan
takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului
takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana
dikatakan oleh
al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain
bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula)
sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،)
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat),
karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan
niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi’i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
“Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir”
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi’i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
“dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan
takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang
demikian tidaklah cukup (bukan takbir).”
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram
yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah
bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk
dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk
dalam bagian dari (rukun) shalat. Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul
Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ)
mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu
‘Ayn),
وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh
Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum
(‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa
disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)” Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan
diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak
menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah (
ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus
kepada kewas-wasan
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah
(ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai
dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan
takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian
takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang
demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan,
inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan
mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat
pendek. Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu’ (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits
shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya
tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak
disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian
tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat,
melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari
shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik
melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak
menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah
rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
“dan niat dengan hati”
Al-Hujjatul Islam Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi’ fi Kaifiyatis Shalat ;
“niat dengan hati dan bukan dengan lisan”
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam
hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati.
Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan
melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan
pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan
oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang
akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat
yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya
sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
” Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi’i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي”إنما الأعمال بالنيات”
“(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan
sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW
; (“إنما الأعمال بالنيات”)”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
“(niat) menurut syara’ adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja”
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat
dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari
shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah
amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul
Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun
shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak
sama dengan melafadzkan niat. Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini
diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam
beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW
mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan)
umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa
salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ
الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah
atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : ” نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan
ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini,
demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan
dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan
salah satu landasan dari Talaffudz binniyah. Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar
lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang
mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad (
menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji” Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
Selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal
maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah
al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an
dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an
maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka
itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai
Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah). Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah dinamakan qiyas jika memang
tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika ada
dalilnya didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas.
Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram
adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat
haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah
apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak
apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan
niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk
menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul ‘Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
(و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan
dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan
dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ
التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ
الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar
lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan
hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi’iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-‘Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ
الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ
خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati,
terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya. selesai” Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat
membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an
(gangguan hati)” Al-‘Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى
الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله:
ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من
أوجبه أي النطق بالمنوي
“disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak
wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya
mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah
didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari
dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan]
maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.” Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
“Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun
tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu
sunnah”
Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu ‘Ain, Al-‘Allamah Al-‘Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”
Kitab Faidlul Haja ‘alaa Nailur Roja, Al-‘Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ
يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما
قاله حج خروجا من خلاف موجبه
” melafadzkan (niat) itu sunnah..”
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
“…(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir…”
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
“niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه (
يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان
القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
“Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat
itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum
takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar
(menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya” Al-‘Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy
Asy-Syafi’i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub
Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
“qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz
biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya” Al-‘Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab
Al-Iqna’ Fiy Alfaadh Abi Syuja’, pada pembahasan “Arkanush shalah” ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan
dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was” Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa
Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang
hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan
tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan
menghadirkan niat”
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) ‘alaa Al-Adzkar
An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu ‘Alan Ash-Shadiqiy
mengatakan,
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه
صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم
وروده لا يدل على عدم وقوعه
“Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan
karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka
diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang
meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya” Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi’i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri’ didalam kitab Mu’jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي
إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض
الله، الله أكبر
“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’
berkata, Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)”
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول
السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي
ليساعد اللسان القلب
“disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati”
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana
ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat
saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh
Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah
untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ . ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
“.. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta’kid)”
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin
menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak
seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal
beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut
mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal
dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah
menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah
mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk
pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab
ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang
baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah
perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa
ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian
ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh
malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik
dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah
ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah
berdasarkan ayat al-Qur’an diatas. Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan
melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat
bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena
Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya
dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya,
sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis
sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru
al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat
adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya
dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula
menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny
I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah
bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam
sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan
niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul
Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu
ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir
ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-‘Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta’alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح
الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض
الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن
النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana
dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi’/luas
maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya ‘alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على
الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد
النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن
معنى واسع أنه خلاف الأولى
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : “Disunnatkan
melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.” Didalam kitab
yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214
bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi
orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar
hilang daripadanya keragu-raguan”.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan
tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan
menghadirkan niat”